CAK IMIN

Cak Imin Tegaskan Program MBG Harus Gunakan Produk Dalam Negeri

Cak Imin Tegaskan Program MBG Harus Gunakan Produk Dalam Negeri
Cak Imin Tegaskan Program MBG Harus Gunakan Produk Dalam Negeri

JAKARTA - Upaya pemerintah memperkuat ekonomi nasional kini memasuki babak baru. 

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) A Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menegaskan, pemerintah tidak akan menggunakan barang impor dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kegiatan Badan Gizi Nasional (BGN).

Kebijakan ini bukan sekadar pembatasan impor, melainkan langkah strategis untuk menggerakkan ekonomi lokal dan mendorong kemandirian bangsa. 

Pemerintah ingin memastikan seluruh kebutuhan program MBG dipenuhi dari produksi dalam negeri, khususnya hasil dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Di tengah berbagai tantangan yang tidak mudah, terutama pengaruh ekonomi global dan persaingan antarnegara, ini persaingan yang nyata-nyata dihadapi kita. Kita sangat bergantung pada barang, produk-produk dari China,” ujar Cak Imin.

Menurutnya, ketergantungan terhadap bahan baku impor menjadi hambatan utama dalam membangun fondasi ekonomi nasional yang kuat. Karena itu, pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan tersebut dengan memanfaatkan potensi lokal dan memperkuat rantai pasok dalam negeri.

Langkah Strategis untuk Mandiri dan Kuat di Tengah Tekanan Global

Cak Imin menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang ingin agar program pemerintah, termasuk MBG, dijalankan dengan memanfaatkan sumber daya lokal semaksimal mungkin.

“Kita sangat bergantung pada berbagai bahan baku, tepung, dan berbagai proses ekonomi kita yang masih bergantung dari negara lain, di tengah upaya kita memenuhi kebutuhan sendiri, di tengah perintah dan harapan kita semua dari Pak Presiden agar kita mandiri di atas kaki sendiri,” kata dia.

Sebagai pengawas BGN yang baru ditunjuk Presiden, Cak Imin menegaskan komitmennya untuk memastikan setiap unsur dalam program MBG bersumber dari produk buatan Indonesia.

“Saya minta BGN tidak lagi ada satu item pun barang yang impor,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa kebutuhan pangan maupun peralatan pendukung dalam MBG harus mengandalkan produk dalam negeri. Pemerintah bahkan berencana untuk melibatkan UMKM secara langsung sebagai pemasok utama program ini.

“Karena itu, terutama semua aspek baik peralatan maupun produksi pangan, nanti tahap yang kedua, seluruh kebutuhan dipasok dari UMKM,” tutur Cak Imin.

Dorong Ekonomi Desa dan Gotong Royong Nasional

Kebijakan pelarangan impor untuk program MBG juga memiliki misi sosial: menghidupkan kembali ekonomi desa dan semangat gotong royong nasional.

Menurut Cak Imin, kekuatan ekonomi Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan makro, tetapi juga pada partisipasi rakyat kecil dalam menggerakkan produksi lokal.

“Salah satu yang mengokohkan adalah semangat gotong royong bahu-membahu yang tidak pernah surut di Tanah Air kita, alhamdulillah,” ujarnya.

Ia menegaskan, semangat kebersamaan tersebut harus menjadi dasar dalam setiap kebijakan ekonomi pemerintah. Program MBG, lanjutnya, bukan hanya upaya menyediakan makanan sehat bagi masyarakat, tetapi juga alat pemberdayaan ekonomi rakyat.

“MBG terus menerus akan diupayakan bagaimana ekonomi desa tumbuh. Tidak menjadi korban dari berbagai perkembangan ekonomi, tetapi justru menjadi aktor solusi, seperti nanti pada akhirnya koperasi desa juga menjadi harapan kita,” ujar Cak Imin.

Transformasi ekonomi nasional, menurutnya, harus menyeluruh mulai dari penguatan UMKM hingga distribusi anggaran yang berpihak pada rakyat kecil.

“Oleh karena itu, transformasi yang menjadi kebutuhan kita bersama-sama untuk mengatasi berbagai persoalan terutama kemiskinan harus terus kita dorong, baik melalui keputusan berbagai pelaksanaan anggaran negara maupun solidaritas dari berbagai pihak di dalam menanggulangi kemiskinan,” jelasnya.

APBN dan APBD Harus Berpihak ke Rakyat

Dalam konteks pendanaan, Cak Imin menekankan bahwa alokasi APBN dan APBD harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat kecil.

“Oleh karena itu evaluasi terus menerus kita lakukan, salah satunya segala bentuk gotong royong dan kerja sama serta bantuan harus benar-benar tepat sasaran sesuai dengan yang dibutuhkan,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kebijakan pelarangan impor juga menjadi bagian dari upaya menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat, di mana pelaku lokal memiliki ruang tumbuh tanpa harus bersaing secara tidak seimbang dengan produk luar negeri.

“Tidak menggunakan pengusaha besar. Ini supaya ekosistem ekonomi tumbuh. Jadi tahap kedua nanti kalau sudah mulai stabil, jangan lagi menggunakan barang-barang di luar UMKM dan koperasi. Pertama seluruh item kebutuhan BGN tidak boleh impor. Item yang kedua, optimalkan ekosistem UMKM dan koperasi,” tegasnya.

Tantangan Lepas dari Ketergantungan Impor

Namun, upaya menghapus ketergantungan impor sepenuhnya bukan hal mudah. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai, dibutuhkan waktu dan kesiapan infrastruktur agar Indonesia benar-benar bisa mandiri dalam produksi bahan baku.

“Berat dan sulit itu agar tidak impor, kan kita itu belum siap. Misalnya, susu itu tidak mungkin, tapi bisa saja dipenuhi dalam negeri tapi susah, butuh waktu, dan dana,” ujar Trubus.

Menurutnya, target kemandirian bisa dicapai dalam jangka panjang, misalnya dalam waktu lima tahun ke depan.

“Kalau untuk jangka panjang mungkin bisa, tapi persiapannya cukup panjang, mungkin 5 tahun ke depan baru bisa,” jelasnya.

BGN Komit Gunakan Produk Lokal

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan, lembaganya sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan produk dalam negeri dalam program MBG.

“Itu juga kebijakan Pak Menteri Pertanian. Kebijakan impor bukan di BGN. BGN fokus menggunakan produk-produk lokal,” kata Dadan.

Ia menjelaskan, untuk daerah yang tidak memiliki sapi perah, susu tidak diwajibkan dalam menu MBG.

“Susu tidak diwajibkan di SPPG yang di daerahnya tidak ada sapi perah,” tegas Dadan.

Terkait kebutuhan wadah makan atau ompreng (foodtray), Dadan memastikan produksi dalam negeri kini sudah mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan program.

“Produksi dalam negeri saat ini mulai mencukupi,” ujarnya.

Ketersediaan Susu Masih Jadi Kendala

Kendati begitu, BGN mengakui bahwa produksi susu segar nasional masih belum mencukupi kebutuhan. Kepala Tim Pakar Susu BGN, Epi Taufik, menjelaskan bahwa sejak 1998 hingga kini, produksi susu segar di dalam negeri hanya mampu menutupi sekitar 20 persen kebutuhan nasional.

“Produksi susu segar kita kurang dari 1 juta ton per tahun,” ujar Epi.

“Sehingga untuk menutupi kebutuhan susu regular di dalam negeri sebelum ada MBG saja harus impor 80 persen. Dengan adanya tambahan kebutuhan susu MBG, maka ketersediaan susu segar dalam negeri semakin berkurang,” tambahnya.

Untuk menyiasatinya, BGN akan memulai MBG dengan kandungan susu segar minimal 20 persen, sambil terus meningkatkan penggunaan bahan lokal seiring bertambahnya kapasitas produksi dalam negeri.

“Kandungan susu segar dalam susu MBG ini akan ditingkatkan secara bertahap mengikuti ketersediaan produksi susu segar dalam negeri yang dihasilkan oleh para peternak sapi perah dalam negeri,” jelas Epi.

Kebijakan pelarangan impor untuk program MBG menjadi simbol kemandirian ekonomi nasional, meski tantangannya tidak kecil. 

Pemerintah yakin, dengan kolaborasi antara lembaga, pelaku UMKM, dan masyarakat, Indonesia dapat perlahan melepaskan diri dari ketergantungan produk asing dan menggerakkan ekonomi lokal secara berkelanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index